Literasi AI di Sekolah: Kesenjangan Keterampilan yang Meningkat

24

Orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan menghadapi tantangan yang semakin besar: mempersiapkan siswa menghadapi masa depan yang dibentuk oleh kecerdasan buatan. Meskipun pendidikan K-12 telah berevolusi untuk mencakup keterampilan komputer dasar, ada kesenjangan kritis dalam literasi AI —pemahaman tentang cara kerja alat-alat ini, implikasi etisnya, dan perannya dalam angkatan kerja modern.

Perlunya Pendidikan AI

Kemajuan pesat AI menuntut perubahan prioritas pendidikan. Emily Musil, direktur pelaksana di Milken Institute, mencatat bahwa mobilitas ekonomi semakin bergantung pada keterampilan terkait AI. Laporan Milken Institute baru-baru ini menyoroti urgensi ini, dengan alasan bahwa sekolah harus mengintegrasikan literasi AI dengan pemikiran kritis dan pengambilan keputusan. Ini bukan hanya tentang mengajarkan coding; ini tentang membekali siswa untuk menavigasi dunia yang digerakkan oleh AI secara bertanggung jawab.

Tantangan Implementasi: Standar dan Keahlian

Meskipun ada upaya federal untuk mempromosikan pendidikan AI, penerapannya masih belum merata. Lebih dari separuh sekolah di AS, terutama di wilayah pedesaan atau daerah yang kekurangan dana, tidak memiliki standar formal AI. Banyak sekolah yang bergantung pada kebijaksanaan guru karena pesatnya evolusi teknologi, namun pendekatan ini menimbulkan permasalahan. Hanya 17% guru ilmu komputer yang memiliki gelar ilmu komputer, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai keahlian. Guru mungkin diminta untuk mengajar mata pelajaran di luar keahlian inti mereka, sehingga berpotensi menurunkan kualitas pengajaran.

Pendekatan Kolektif Penting

Laporan Milken menguraikan empat bidang utama pendidikan AI K-12: pengajaran yang sesuai dengan perkembangan, penggunaan etis, integrasi AI dengan kognisi manusia, dan pembelajaran melalui interaksi, bukan hanya melalui layar. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan upaya kolektif. Para filantropis, pemimpin industri, pembuat kebijakan, dan pendidik harus berkolaborasi untuk mendanai perubahan kurikulum dan mendukung sekolah.

Risiko dan Realitas AI dalam Pendidikan

Mengintegrasikan AI bukannya tanpa risiko. Penelitian dari Center for Democracy and Technology menunjukkan bahwa penggunaan AI di ruang kelas dapat menyebabkan siswa merasa terputus dari gurunya, dan Departemen Pendidikan memperingatkan agar tidak menerapkannya secara sembarangan. Namun, Musil berpendapat bahwa mengabaikan AI dalam pendidikan bukanlah suatu pilihan. Siswa akan menghadapinya bagaimanapun juga; sekolah harus mengajarkan penggunaan yang bertanggung jawab untuk memitigasi risiko.

Kesenjangan keterampilan sudah terlihat jelas: partisipasi dalam ilmu komputer menurun seiring dengan kemajuan siswa di sekolah, khususnya di kalangan anak perempuan (49% di sekolah dasar dan 20% setelah lulus perguruan tinggi). Hal ini menggarisbawahi perlunya kurikulum AI yang inklusif dan menarik.

Tenaga kerja masa depan akan menuntut kefasihan AI. Kegagalan untuk mengatasi hal ini sekarang akan memperburuk kesenjangan yang ada dan membuat siswa tidak siap menghadapi tantangan dan peluang di masa depan.